Penting untuk diketahui suami istri, bahwa hidup adalah suatu seni kemungkinan, hendaknya masing – masing ridha dengan apa yang telah Allah berikan dan berusaha untuk mencapai sesuatu yang lebih baik pada batasan yang memungkinkan. (Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid)
Ummu Sulaim bintu Milhan nama wanita itu. Ia yang dinikahi Abu Thalhah Al Anshari dengan mahar keislaman calon suaminya. Kisah agung pernikahan suci mereka berlanjut hingga saat mereka sudah dikaruniai putra. Para penulis hadits mengabadikan kisah sakitnya putra semata mayang dari kedua pasangan mulia ini. Ya, kisah ini memberikan hikmah yang dalam dan pelajaran yang, tinggi kepada siapapun yang mencari teladan.
Suatu hari, putra Abu Thalhah dan Ummu Sulaim sakit keras. Semakin hari semakin parah saja tampaknya, sedangkan Abu Thalhah harus tetap menjalankan usaha perniagaannya. Allah berkehendak mengambil kembali anak kecil itu dari kehidupan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim ketika sang ayah tak ada di rumah.
Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, "Janganlah kalian memberitahukan kepada Abu Thalhah akan kematian putra kesayangannya. Biar aku sendiri yang akan menyampaikannya." Jasad sang putera pun ditempatkan di ruangan tertutup.
Kemudian Ummu Sulaim mengenakan busananya yang paling bagus. Dia merias dirinya secantik mungkin dan memasak makanan istimewa kesukaan Abu Thalhah. Ketika pulang, Abu Thalhah segera menanyakan bagaimana keadaan sang putera yang ditinggalkan dalam kondisi sakit.
Ummu Sulaim menjawab, "Dia sekarang jauh lebih tenang daripada sebelumnya." Jawaban ini sangat melegakan bagi Abu Thalhah, padahal tentu yang dimaksud Ummu Sulaim 'lebih tenang daripada sebelumnya' berbeda dari pemahaman Abu Thalhah.
Karena merasa tenang, maka Abu Thalhah menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh isterinya. Setelah itu sang isteri memperlakukannya dengan sangat mesra layaknya pengantin barn. Lalu 'shadaqah' pun selesai ditunaikan Abu Thalhah, hingga ia merasa tenang dan tenteram. Luar biasa wanita ini. la pun sebenarnya dirundung duka begitu dalam, tetapi ia ingin agar beban kesedihan dan nestapa yang akan segera didengar suaminya agak terkurangi dengan sambutannya malam ini.
"Wahai Aba Thalhah...", kata Ummu Sulaim kemudian. "Bagaimana pendapatmu, sekiranya ada seseorang yang menitipkan sesuatu kepada orang lain untuk suatu masa tertentu. Kemudian ketika si pemilik itu hendak mengambil barangnya kembali, patutkah jika orang yang dititipi itu keberatan?"
"Sebenarnya tidak boleh begitu", kata Abu Thalhah. "Ia wajib untuk segera mengembalikan barang itu kepada pemiliknya dengan penuh keikhlasan. Bukankah barang itu memang bukan miliknya?"
Ummu Sulaim kemudian mengatakan, "Kalau begitu, ketahuilah bahwa putra kita adalah milik Allah yang dititipkan kepada kita. Ikhlaskanlah putramu, karena kini Sang Pemilik telah mengambil barang titipannya."
Abu Thalhah marah dan dongkol sekali. Bagaimana bisa tadi dia makan dengan sangat lahap kemudian bermesraan bagaikan pengantin baru padahal putera terkasihnya terbujur kaku di kamar sebelah. "Mengapa baru sekarang kau katakan? Mengapa sejak tadi kau diam saja? Sampai – sampai keadaan kita berdua sudah seperti ini."
Paginya dengan menahan kesedihan, keharuan, dan kejengkelan pada isterinya, Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Dia laporkan apa yang telah dilakukan Ummu Sulaim kepadanya. Sungguh agung, Rasul mulia itu justru bersabda: "Pengantinankah kalian berdua semalam? Mudah – mudahan Allah memberikan barakahNya untuk kalian berdua pada malam yang telah kalian lalui bersama."
Benarlah yang beliau sabdakan. Tak lama kemudian Ummu Sulaim mengandung dan ketika lahir, sang bayi ini diberi nama 'Abdullah. Perawi hadits ini berkomentar, "Aku telah mendapatkan informasi bahwa Abdullah memiliki sembilan orang putera yang kesemuanya adalah Qari’ penghafal Al Quran. Inilah barakah malam itu. Inilah yang dilahirkan oleh seorang wanita mukminah lagi shalihah." (HR Al Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Ummu Sulaim bintu Milhan nama wanita itu. Ia yang dinikahi Abu Thalhah Al Anshari dengan mahar keislaman calon suaminya. Kisah agung pernikahan suci mereka berlanjut hingga saat mereka sudah dikaruniai putra. Para penulis hadits mengabadikan kisah sakitnya putra semata mayang dari kedua pasangan mulia ini. Ya, kisah ini memberikan hikmah yang dalam dan pelajaran yang, tinggi kepada siapapun yang mencari teladan.
Suatu hari, putra Abu Thalhah dan Ummu Sulaim sakit keras. Semakin hari semakin parah saja tampaknya, sedangkan Abu Thalhah harus tetap menjalankan usaha perniagaannya. Allah berkehendak mengambil kembali anak kecil itu dari kehidupan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim ketika sang ayah tak ada di rumah.
Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, "Janganlah kalian memberitahukan kepada Abu Thalhah akan kematian putra kesayangannya. Biar aku sendiri yang akan menyampaikannya." Jasad sang putera pun ditempatkan di ruangan tertutup.
Kemudian Ummu Sulaim mengenakan busananya yang paling bagus. Dia merias dirinya secantik mungkin dan memasak makanan istimewa kesukaan Abu Thalhah. Ketika pulang, Abu Thalhah segera menanyakan bagaimana keadaan sang putera yang ditinggalkan dalam kondisi sakit.
Ummu Sulaim menjawab, "Dia sekarang jauh lebih tenang daripada sebelumnya." Jawaban ini sangat melegakan bagi Abu Thalhah, padahal tentu yang dimaksud Ummu Sulaim 'lebih tenang daripada sebelumnya' berbeda dari pemahaman Abu Thalhah.
Karena merasa tenang, maka Abu Thalhah menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh isterinya. Setelah itu sang isteri memperlakukannya dengan sangat mesra layaknya pengantin barn. Lalu 'shadaqah' pun selesai ditunaikan Abu Thalhah, hingga ia merasa tenang dan tenteram. Luar biasa wanita ini. la pun sebenarnya dirundung duka begitu dalam, tetapi ia ingin agar beban kesedihan dan nestapa yang akan segera didengar suaminya agak terkurangi dengan sambutannya malam ini.
"Wahai Aba Thalhah...", kata Ummu Sulaim kemudian. "Bagaimana pendapatmu, sekiranya ada seseorang yang menitipkan sesuatu kepada orang lain untuk suatu masa tertentu. Kemudian ketika si pemilik itu hendak mengambil barangnya kembali, patutkah jika orang yang dititipi itu keberatan?"
"Sebenarnya tidak boleh begitu", kata Abu Thalhah. "Ia wajib untuk segera mengembalikan barang itu kepada pemiliknya dengan penuh keikhlasan. Bukankah barang itu memang bukan miliknya?"
Ummu Sulaim kemudian mengatakan, "Kalau begitu, ketahuilah bahwa putra kita adalah milik Allah yang dititipkan kepada kita. Ikhlaskanlah putramu, karena kini Sang Pemilik telah mengambil barang titipannya."
Abu Thalhah marah dan dongkol sekali. Bagaimana bisa tadi dia makan dengan sangat lahap kemudian bermesraan bagaikan pengantin baru padahal putera terkasihnya terbujur kaku di kamar sebelah. "Mengapa baru sekarang kau katakan? Mengapa sejak tadi kau diam saja? Sampai – sampai keadaan kita berdua sudah seperti ini."
Paginya dengan menahan kesedihan, keharuan, dan kejengkelan pada isterinya, Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Dia laporkan apa yang telah dilakukan Ummu Sulaim kepadanya. Sungguh agung, Rasul mulia itu justru bersabda: "Pengantinankah kalian berdua semalam? Mudah – mudahan Allah memberikan barakahNya untuk kalian berdua pada malam yang telah kalian lalui bersama."
Benarlah yang beliau sabdakan. Tak lama kemudian Ummu Sulaim mengandung dan ketika lahir, sang bayi ini diberi nama 'Abdullah. Perawi hadits ini berkomentar, "Aku telah mendapatkan informasi bahwa Abdullah memiliki sembilan orang putera yang kesemuanya adalah Qari’ penghafal Al Quran. Inilah barakah malam itu. Inilah yang dilahirkan oleh seorang wanita mukminah lagi shalihah." (HR Al Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Pelajaran indah apalagi yang kita dapat setelah membaca kisah Ummu Sulaim ini? Lihatlah bagaimana ketegaran seorang isteri seperti Ummu Sulaim dan kecerdasannya menyikapi kondisi. Luar biasa! Ia tak panik, meratap, dan pilu mendapati kematian putra kesayangan. Ia justru berusaha menjadi orang yang paling tenang dan menenangkan, orang yang paling kuat dan menguatkan, orang yang paling tegar dan meneguhkan.
Bayangkan jika kita sedang lelah – lelahnya pulang dari bepergian, lalu di depan kita ada wanita menangis tanpa kita tahu sebabnya.
Bayangkan di tengah penat yang serasa memutus urat, bukan pijatan lembut tapi berita duka yang di dapat.
Bayangkan jika setelah perjalanan yang membuat kta merindukan canda anak – anak, justru tubuh terbujur kaku yang kita saksikan.
Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha, betapa mulianya pribadi ini. Ia tidak berkata apapun apalagi menangis meraung di depan suaminya yang sedang sangat lelah, dipenuhi kekhawatiran, dan gelisah. Ia justru hidangkan yang terbaik, berdandan dengan cantik, serat memberikan waktu dan dirinya agar sang suami kenyang, tenang, puas, dan rileks. Dalam kondisi emosi suami yang stabil, baru ia sampaikan berita itu dengan bahasa yang sangat empatik. Perumpamaan yang sungguh membuat sang suami tak bisa berkata apa – apa, "Ikhlaskanlah putramu, karena kini Sang Pemilik telah mengambil barang titipan-Nya."
Subhanallah…
Wa Allahu ‘Alam Bis Showab
1 komentar:
Subhanallah! hati ini bergetar saat membaca tulisannya. betapa agungnya seorang wanita yg tetap bepegang pada hati dan pikirannya di saat mendapatkan cobaan dari Yang Kuasa...sungguh tulisan yang luar biasa!
terima kasih telah berbagi ya
Posting Komentar