Kuli angkut itu terus berjalan memanggul beban. Memanggul dan memanggul. Di pasar Baghdad, di tepian sungai Dajlah yang membelah kota peradaban itu, ia mencari hidup. Bila dhuha menyingsing, ia berhenti sejenak. Pergi ke tepian sungai untuk berwudhu. Lalu shalat dhuha, memohon kepada Allah Yang Maha Meneguhkan.
Usai shalat ia melanjutkan kerjanya. Menjelang dzuhur ia menerima upah yang ia pergunakan untuk membeli roti. Lalu pergi ke tepian sungai Dajlah. Di sana ia makan, lalu minum dari sungai yang airnya sangat jernih. Sesudah shalat Dzuhur, ia melanjutkan kembali kerjanya. Menjadi kuli angkut. Bila sore tiba, ia pergi ke sungai berwudhu, shalat Ashar, lalu melanjutkan kembali kerjanya.
Tanpa disadari, telah beberapa hari kehidupan kuli itu menjadi perhatian anak seorang khalifah. Ali bin Al-Makmun.
Ali mengamati tingkah laku kuli pasar itu dari atas menara istana ayahnya. Dari atas menara itu, segala aktifitas orang – orang di pasar itu terlihat jelas. Termasuk apa yang selalu dilakukan kuli itu.
Setelah beberapa hari, ia meminta pengawal agar memanggil kuli pasar itu ke istana.
“Apa pekerjaanmu?” Tanya anak khalifah.
“Aku bekerja bersama hamba – hamba Allah di bumi Allah.”
“Aku telah mengamati kamu, dan melihat beratnya pekerjaanmu. Maukah kamu hidup bersamaku? Bawalah keluargamu. Di sini kamu bisa makan, istirahat, tidak ada kesedihan, tidak ada duka, tidak ada kegalauan.”
“Wahai putra khalifah, sesungguhnya tidak ada kegalauan bagi orang yang tidak bermaksiat, tidak ada kesedihan bagi orang yang tidak berbuat buruk. Adapun orang yang hari – harinya dilalui kemarahan dari Allah, bermaksiat kepada Allah, maka dialah yang merasakan galau, sedih, dan duka.”
Putra khalifah, yang tumbuh di istana itu terus bertanya tentang keluarganya. Dan terus memintanya agar mau tinggal bersamanya. Tetapi kuli angkut di pasar Baghdad itu tidak mau. Ia mengatakan, bahwa setiap sore, ia kumpulkan upahnya di sore hari. Untuk membeli roti dan di bawa pulang. Sebab, ibunya yang sudah renta dan saudara perempuannya yang buta selalu berpuasa. Bila sore tiba, mereka menunggu buka dari lelaki kuli itu.
“Maka kami berbuka bersama, lalu tidur.”
“Jadi kapan kamu bangun?” tanya sang anak khalifah
“Pada saat Allah turuh ke langit bumi (sepertiga malam terakhir).”
“Apakah kamu punya hutang atau tanggungan?”
“Ya, dosa – dosa yang belum aku tebus di sisi Allah,” jawab sang kuli itu.
Anak pengusaha itu begitu tergugah. Beberapa hari sesudah pertemuan itu, ia memutuskan untuk pergi. Ia berpesan kepada pembantunya, “Setelah tiga hari kepergianku, sampaikan kepada ayahku bahwa aku pergi dan kita bertemu di hari perhitungan kelak.”
Ia mengganti pakaian kebesarannya sebagai keluarga khalifah. Lalu memakai pakaian biasa. Ia pergi dan bergaul dengan orang – orang yang ada di pasar. Dan, juga memulai bekerja sebagai kuli angkut. Tidak seorang pun tahu bahwa ia adalah anak khalifah. Tidak juga kuli yang telah diundangnya ke istana.
Sejak itu ia punya jadwal ibadah yang rutin, seperti yang ia saksikan pada sosok kuli angkut yang mempengaruhi jiwanya. Termasuk berpuasa pada senin dan kamis. Pagi sebelum bekerja ia menghafal Al-Qur’an. Bila dhuha tiba, ia pergi ke sungai Dajlah, lalu berwudhu dan shalat. Begitu seterusnya. Ia sangat merasakan nikmatnya upah satu hari yang ia pergunakan untuk membeli roti.
Waktu terus berjalan. Suatu hari ia jatuh sakit. Ketika merasa ajalnya sudah dekat, ia sampaikan pesan kepada pedagang tempatnya bekerja menjadi kuli.
“Bila aku mati, tolong urus jenazahku, setelah engkau makamkan aku, maka kirimkan cincin ini kepada Khalifah Al-Makmun.”
Betapa terkejutnya sang khalifah setelah mengetahui anaknya sudah meninggal. Ia menangis, begitu juga para pengawalnya.
Ini adalah kisah tentang sentuhan kuli yang menggugah jiwa anak pengusaha. Ini adalah sentuhan kuli yang mengubah jalan hidup anak khalifah. Sentuhan itu tidak mengubahnya lari dari dunia secara ekstrim, seperti pelarian orang – orang salah. Tidak. Sentuhan itu mengubahnya menjadi pekerja keras yang bisa menikmati jerih payahnya dengan sangat nikmat. Sebab, betapa banyak dari kita, yang memburu apa – apa yang mungkin bisa kita miliki tetapi tidak pernah bisa kita nikmati. Lebih dari itu, sentuhan itu membuatnya memiliki kesempatan untuk bermunajat kepada Allah, menghafal Al-Qur’an, bekal yang menyemangati kembali hidupnya menyongsong hidup sesudah hidup. Sentuhan itu telah memberinya dorongan kuat untuk menempuh ritme hidup yang lebih berkualitas.
Wa Allahu ‘Alam Bis Showab
Usai shalat ia melanjutkan kerjanya. Menjelang dzuhur ia menerima upah yang ia pergunakan untuk membeli roti. Lalu pergi ke tepian sungai Dajlah. Di sana ia makan, lalu minum dari sungai yang airnya sangat jernih. Sesudah shalat Dzuhur, ia melanjutkan kembali kerjanya. Menjadi kuli angkut. Bila sore tiba, ia pergi ke sungai berwudhu, shalat Ashar, lalu melanjutkan kembali kerjanya.
Tanpa disadari, telah beberapa hari kehidupan kuli itu menjadi perhatian anak seorang khalifah. Ali bin Al-Makmun.
Ali mengamati tingkah laku kuli pasar itu dari atas menara istana ayahnya. Dari atas menara itu, segala aktifitas orang – orang di pasar itu terlihat jelas. Termasuk apa yang selalu dilakukan kuli itu.
Setelah beberapa hari, ia meminta pengawal agar memanggil kuli pasar itu ke istana.
“Apa pekerjaanmu?” Tanya anak khalifah.
“Aku bekerja bersama hamba – hamba Allah di bumi Allah.”
“Aku telah mengamati kamu, dan melihat beratnya pekerjaanmu. Maukah kamu hidup bersamaku? Bawalah keluargamu. Di sini kamu bisa makan, istirahat, tidak ada kesedihan, tidak ada duka, tidak ada kegalauan.”
“Wahai putra khalifah, sesungguhnya tidak ada kegalauan bagi orang yang tidak bermaksiat, tidak ada kesedihan bagi orang yang tidak berbuat buruk. Adapun orang yang hari – harinya dilalui kemarahan dari Allah, bermaksiat kepada Allah, maka dialah yang merasakan galau, sedih, dan duka.”
Putra khalifah, yang tumbuh di istana itu terus bertanya tentang keluarganya. Dan terus memintanya agar mau tinggal bersamanya. Tetapi kuli angkut di pasar Baghdad itu tidak mau. Ia mengatakan, bahwa setiap sore, ia kumpulkan upahnya di sore hari. Untuk membeli roti dan di bawa pulang. Sebab, ibunya yang sudah renta dan saudara perempuannya yang buta selalu berpuasa. Bila sore tiba, mereka menunggu buka dari lelaki kuli itu.
“Maka kami berbuka bersama, lalu tidur.”
“Jadi kapan kamu bangun?” tanya sang anak khalifah
“Pada saat Allah turuh ke langit bumi (sepertiga malam terakhir).”
“Apakah kamu punya hutang atau tanggungan?”
“Ya, dosa – dosa yang belum aku tebus di sisi Allah,” jawab sang kuli itu.
Anak pengusaha itu begitu tergugah. Beberapa hari sesudah pertemuan itu, ia memutuskan untuk pergi. Ia berpesan kepada pembantunya, “Setelah tiga hari kepergianku, sampaikan kepada ayahku bahwa aku pergi dan kita bertemu di hari perhitungan kelak.”
Ia mengganti pakaian kebesarannya sebagai keluarga khalifah. Lalu memakai pakaian biasa. Ia pergi dan bergaul dengan orang – orang yang ada di pasar. Dan, juga memulai bekerja sebagai kuli angkut. Tidak seorang pun tahu bahwa ia adalah anak khalifah. Tidak juga kuli yang telah diundangnya ke istana.
Sejak itu ia punya jadwal ibadah yang rutin, seperti yang ia saksikan pada sosok kuli angkut yang mempengaruhi jiwanya. Termasuk berpuasa pada senin dan kamis. Pagi sebelum bekerja ia menghafal Al-Qur’an. Bila dhuha tiba, ia pergi ke sungai Dajlah, lalu berwudhu dan shalat. Begitu seterusnya. Ia sangat merasakan nikmatnya upah satu hari yang ia pergunakan untuk membeli roti.
Waktu terus berjalan. Suatu hari ia jatuh sakit. Ketika merasa ajalnya sudah dekat, ia sampaikan pesan kepada pedagang tempatnya bekerja menjadi kuli.
“Bila aku mati, tolong urus jenazahku, setelah engkau makamkan aku, maka kirimkan cincin ini kepada Khalifah Al-Makmun.”
Betapa terkejutnya sang khalifah setelah mengetahui anaknya sudah meninggal. Ia menangis, begitu juga para pengawalnya.
Ini adalah kisah tentang sentuhan kuli yang menggugah jiwa anak pengusaha. Ini adalah sentuhan kuli yang mengubah jalan hidup anak khalifah. Sentuhan itu tidak mengubahnya lari dari dunia secara ekstrim, seperti pelarian orang – orang salah. Tidak. Sentuhan itu mengubahnya menjadi pekerja keras yang bisa menikmati jerih payahnya dengan sangat nikmat. Sebab, betapa banyak dari kita, yang memburu apa – apa yang mungkin bisa kita miliki tetapi tidak pernah bisa kita nikmati. Lebih dari itu, sentuhan itu membuatnya memiliki kesempatan untuk bermunajat kepada Allah, menghafal Al-Qur’an, bekal yang menyemangati kembali hidupnya menyongsong hidup sesudah hidup. Sentuhan itu telah memberinya dorongan kuat untuk menempuh ritme hidup yang lebih berkualitas.
Wa Allahu ‘Alam Bis Showab
0 komentar:
Posting Komentar